Thursday, February 14, 2013

From Dust to Dust


Kita sebagai manusia punya keterbatasan, salah satunya keterbatasan dalam menghadapi kematian. Tua muda, kaya miskin, sakit sehat. Semuanya tidak bisa menolak kematian, juga tidak pernah tahu kapan gilirannya tiba. Semua manusia akan kembali menjadi debu tanah.

Beberapa hari ini, gue dikejutkan oleh kabar kematian yang mengejutkan. Pertama, bokap temen SD gue meninggal pas lagi asyik karaoke bareng keluarga. Kedua, tante gue (dari bokap) yang meninggal mendadak.



Di dalam hati gue sempet bertanya-tanya, apa yang sebenarnya Tuhan rencakan pada hidup kita? Mengapa ada kehidupan bila ada kematian? Mengapa kita harus hidup jika akhirnya harus meninggal juga?


Dan kotbah sang pendeta membuat gue sadar bahwa manusia itu seperti tanaman, dan Tuhan itu ibarat penanam. Tuhan bebas menanam kita kapanpun dia mau, dan Tuhan juga bebas mencabut kita jika memang sudah waktunya. Tuhan akan “mencabut” kita dari dunia bila ia sudah menyiapkan tempat baru untuk kita agar kita punya tempat nantinya.


Tapi kita harus ingat kematian bukanlah suatu hal yang harus ditakuti dan dihindari, kematian hanyalah proses, di mana setiap pribadi manusia harus mengalaminya. Lantas bukan berarti karena kita tahu hidup kita sementara, kita menjalani hidup seenaknya, malahan selama hidup kita yang sementara ini, kita harus menabur benih-benih kebaikan, menjauhi laranganNya, dan bekerja demi kemuliaanNya, sebab kia tidak pernah tahu kapan waktunya akan tiba.
 

All are from the dust, and to dust all return. 
  –Ecclesiastes 3:20- 

No comments:

Post a Comment