Sunday, February 17, 2013

nice to meet you (again)

Gue ketemu satu cowok dari suatu acara gereja yg diadain setiap hari kamis selama berbulan-bulan, dan selama berbulan-bulan juga gue belom pernah ngobrol sama dia.


Dibilang ganteng sih sebenernya standar, baik biasa aja, tapi kok kayaknya di mata gue dia itu spesial, beda daripada cowok-cowok lain. Kenapa? Sebenernya bermula dari retret, dan di retret itu gue nemuin fakta kalau dia bisa bahasa roh, dan sejak saat itu gue adore dia banget (secara diem-diem), ditambah lagi dia itu family man dan pengajar bina iman. Can you imagine?

Dan sampai akhirnya setelah sekian lama gue gak ketemu sama dia, kemaren siang tepatnya jam 3 gue ketemu dia lagi. Ngeliat dia lagi dengan gaya cool nya itu. Ngedenger suara khas nya dia kalo lagi nyanyi yang bisa gue bilang keren. Walaupun gue enggak ngobrol panjang lebar sama dia, at least dia uda mulai nanggepin kalo gue lagi ngomong sama orang, comment-comment ringan, makan wafer coklat bareng dia dengan jarak kurang dari 30 senti, dia rela berdiri di belakang gue cuma supaya gue bisa dapet tempat duduk, dan diakhiri dengan kita berdoa bareng dan gue pegangan tangan sama dia, juga dia anterin gue balik ke rumah.


Well, ini sih bukti kegalauan gue. Bayangin sampe ditulis di blog segala. Cuma gue bingung aja sama diri gue sendiri, kenapa coba gue jadi mati kutu kalo lagi bareng dia, gak bisa berekspresi dengan bebasnya, padahal mah dianya nyantai-nyantai aja. Kan aneh. Gue kayak semacem takut gitu kalo dia jadi ilfeel sama gue makanya gue berusaha diem aja, gue cuma mau deket sama dia, meskipun dia uda punya cewek yang kayaknya dia sayang banget banget. Tapi rumput tetangga lebih hijau kan?

Untuk mengakhiri kegalauan gue, gue cuma mau kasihtau kalian kalau gue seneng tanggal 16 FEBRUARI 2013 itu pernah ada dan gue seneng bisa malem mingguan sama dia, walaupun bareng anak-anak yang lain juga. Dan gue berharap apapun yang terjadi, dia bisa bahagia.


Yang lagi galau,
Harisa Marcia.

Thursday, February 14, 2013

From Dust to Dust


Kita sebagai manusia punya keterbatasan, salah satunya keterbatasan dalam menghadapi kematian. Tua muda, kaya miskin, sakit sehat. Semuanya tidak bisa menolak kematian, juga tidak pernah tahu kapan gilirannya tiba. Semua manusia akan kembali menjadi debu tanah.

Beberapa hari ini, gue dikejutkan oleh kabar kematian yang mengejutkan. Pertama, bokap temen SD gue meninggal pas lagi asyik karaoke bareng keluarga. Kedua, tante gue (dari bokap) yang meninggal mendadak.



Di dalam hati gue sempet bertanya-tanya, apa yang sebenarnya Tuhan rencakan pada hidup kita? Mengapa ada kehidupan bila ada kematian? Mengapa kita harus hidup jika akhirnya harus meninggal juga?


Dan kotbah sang pendeta membuat gue sadar bahwa manusia itu seperti tanaman, dan Tuhan itu ibarat penanam. Tuhan bebas menanam kita kapanpun dia mau, dan Tuhan juga bebas mencabut kita jika memang sudah waktunya. Tuhan akan “mencabut” kita dari dunia bila ia sudah menyiapkan tempat baru untuk kita agar kita punya tempat nantinya.


Tapi kita harus ingat kematian bukanlah suatu hal yang harus ditakuti dan dihindari, kematian hanyalah proses, di mana setiap pribadi manusia harus mengalaminya. Lantas bukan berarti karena kita tahu hidup kita sementara, kita menjalani hidup seenaknya, malahan selama hidup kita yang sementara ini, kita harus menabur benih-benih kebaikan, menjauhi laranganNya, dan bekerja demi kemuliaanNya, sebab kia tidak pernah tahu kapan waktunya akan tiba.
 

All are from the dust, and to dust all return. 
  –Ecclesiastes 3:20-